Di
dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari
yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang
membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia
sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga
berlimpah ruah dan ad90a pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat
mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk
berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu
dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan,
tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang
bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga
menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
A. PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal
dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah
Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang
berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang
yang memberikan hutang.(1)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah
menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja
yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu
saat) sesuai dengan padanannya.(2)
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang
menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian
di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika
peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa
depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
B. HUKUM HUTANG PIUTANG:
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam.
Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang
sangat membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di
dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan
disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah :
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ
أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu
Rafi’, bahwa Nabi pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki.
Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau
menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu
Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang
kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” (3)
Nabi juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR.
Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud . Hadits ini di-hasan-kan
oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar
As-sabil (no.1389).)
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
C. PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG:
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum
berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah
sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi pernah berhutang.(4)
Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar
menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai
atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut
Rasulullah , merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di
siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda
Rasulullah (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka
dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang
diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk
membayarnya. Rasulullah bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash ).
Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah , bahwa Beliau bersabda:
« مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ »
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas
dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong,
(kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah bersabda:
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda:
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar
atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya;
karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ « أَنَّ
الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ
الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ
إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ
لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِى
سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ».
ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ».
قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى
خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ
وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ »
Dari Abu Qatadah , bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di
tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad
di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal.
Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah,
bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku
akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah kepadanya “Ya, jika
engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala,
maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan
hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu
kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412
no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh
Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).
D. SYARAT PIUTANG MENJADI AMAL SHOLIH?
1. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni
kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang
haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan
ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada
maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang
lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
E. BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke
surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di
bawah ini:
[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا
يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ
وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا
يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا
أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ
وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ
تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ
إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا
تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ
ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا
تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا
بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا
إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا
فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada
dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai
yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ;
dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini
merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika
mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar
lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di
ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat:
“Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar
tidak mendatangkan keraguan”. (5)
[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini
terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan
manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’
para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang
dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam.
Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan
menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.(6)
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh
bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan
riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena
ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah .
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah
diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang
adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang
mengatakan, “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan
tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau
tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak
dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan
tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya
atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari
yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang
mengambil tambahan.(7)
[3]. Melunasi hutang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى
النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ
يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا
سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ «
أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ
قَضَاءً »
Dari Abu Hurairah , ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada
seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang
menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian
mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak
menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata:
“Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya
dengan lebih. Semoga Allah membalas dengan setimpal”. Maka Nabi
bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam
pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله
عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ
فَقَضَانِى وَزَادَنِى
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: “Aku mendatangi Nabi di masjid,
sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam
menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)
Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya
tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh
kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di
rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.
[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله
عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا
أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ
اللَّهُ »
Dari Abu Hurairah , ia berkata bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang
mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya
(mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa
mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka
Allah akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang
berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas.
Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk
menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya.
Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang
dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka
Allah membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah melelahkan
badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan
jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di
dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?
[5]. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat
menenangkan jiwa n menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram.
Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat
menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.
[6]. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain
berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan
atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop
model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau
menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau
penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.
[7]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh
memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual
sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang
menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi :
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
[8]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan,
hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang
memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan
memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud
kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
[9]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ »
Dari Samurah , Nabi bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)
[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan
pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara
(syafa’at) untuk memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):
Dari Jabir bin Abdullah , ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan
dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik
hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka
enggan. Akupun mendatangi Nabi meminta syafaat (bantuan) kepada
mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau berkata, “Pisahkan kormamu
sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut
satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka)
akupun melakukannya. Beliau pun datang lalu duduk dan menimbang setiap
mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405)
[11]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera
mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan
hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal
ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim.
Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ
أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
Dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah bersabda: “Memperlambat
pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan
zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah
membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”.
(HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah .)
[12]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah bersabda:
« مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ »
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari
kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi
orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.”
(HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani)
قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ لَهُ هَلْ
عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ . قَالَ مَا
أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا
وَأُجَازِيهِمْ ، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ
. فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ »
Dari sahabat Hudzaifah, beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu
datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan
kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?”
Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Malaikat maut
berkata: “ Telitilah kembali apakah engkau telah berbuat kebaikan.” Dia
menjawab: “Aku tidak mengetahui sesuatu pun amalan baik yang telah aku
lakukan selain bahwa dahulu aku suka berjual beli barang dengan manusia
ketika di dunia dan aku selalu mencukupi kebutuhan mereka. Aku memberi
keluasan dalam pembayaran hutang bagi orang yang memiliki kemampuan dan
aku membebaskan tanggungan orang yang kesulitan.” Maka Allah (dengan
sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Bukhari III/1272 no.3266)
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang
piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua
rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang.
Amin.
Catatan Kaki:
(1) Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili.
(2) Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah
Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah
Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29.
(3) HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil
(no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an
Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600).
(4) HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086).
(5) Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316.
(6) Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147.
(7) Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51.
[Sumber: MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM Edisi 12 Volume 1 / 15 November 2010]